MELURUSKAN PAHAM FUNDAMENTALISME AGAMA

MELURUSKAN PAHAM FUNDAMENTALISME AGAMA*)

Oleh : Fanny Widadie

Belakangan ini istilah fundamentalisme cukup hangat dibicarakan di media massa, tidak hanya di tingkat nasional tapi internsional juga. Hal ini terjadi seiring merebaknya aksi terorisme yang berlindung di bawah paham fundamentalis agama terutama islam. Sehingga istilah fundamentalis identik dengan “fundamentalisme islam” atau “islam fundamentalis” yang memiliki kesan negatif dan ekstrimisme.

Padahal kalau dilihat lebih dalam lagi fundamentalis yang berakar pada agama ini tidak hanya islam saja tapi juga agama lain (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Yahudi dan Konghucu). Bahkan istilah fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat dan memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah.

Sementara itu dalam bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para peneliti barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan. Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini, mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.

Terlepas dari semua itu, istilah fundamenetalisme yang dipersepsikan masyarakat dunia saat ini merupakan pemaknaan yang diproduksi oleh bangsa Barat. Fundamentalisme yang menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem, hitam putih, tidak toleran, tidak kompromi, dan segalanya yang asosiatif.

Agama dijadikan mereka sebagai alat untuk melakukan intimidasi, penindasan kepada sekelompok orang yang bertentangan dengan paham mereka. Padahal agama manapun tidak mengajarkan demikian. Nilai-nilai kemanusiaan agama mereka tinggalkan. Agama yang dibangun dari integrasi akal pikiran rasional dengan non-rasional sehingga menciptakan pikiran yang masuk akal (rasional), telah beralih peran yang mengarah kepada penciptaan rasionalitas untuk berindak anarkhis. Agama yang berfungsi memenuhi kebutuhan rohani manusia menjadi tenteram, damai, dan aman telah beralih pada kebencian, kegelisahan dan ketakutan. Dan Agama yang memiliki prinsip nilai-nilai kemanusiaan untuk meningkatkan kulaitas kemanusiaan manusia telah berganti dengan nilai-nilai kekerasan dan fanatisme sempit.

Paham fundamentalisme agama yang demikian inilah, yang harus dibenarkan dan diluruskan. Sebenarnya paham fundamentalisme agama ini tidaklah harus dihapus keberadaannya. Paham fundamentalisme itu diperlukan dalam kehidupan beragama, untuk menunjukkan eksistensi keyakinan manusia. Sehingga agama dapat menyebar sampai saat ini tidak lain adalah peran para fundamentalis agama untuk mengajarkan arti eksistensi manusia hidup di dunia sesuai tatanan fitrahnya dan menanamkan norma-norma moralitas kemanusiaan manusia. Akan tetapi melencengnya para fundamentalis agama dari koridor-koridor aturan agama ini, telah mengakibatkan berkembangnya paham fundamentalisme baru yang berpandangan sempit.

Paham inilah yang berbahaya dan hraus dibenarkan dan diluruskan untuk kembali kepada koridor-koridor fitrah agama yang benar. Paham seperti ini sangat berbahaya tidak hanya akan menimbulkan kerusakan dan arkhis saja, akan tetapi yang lebih berbahaya akan merusak fungsi dan peran agama itu sendiri. Nilai moralitas yang timbul dari agama akan semakin ditinggalkan para pengikutnya.

Untuk melawan fundamentalisme agama yang berpikiran sempit ini, perlu diperlukan proses tashfiyah (pelurusan) dan tarbiyah (pendidikan) sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Proses pelurusan ini dilakukan dengan meluruskan persepsi manusia akan agama untuk kembali kepada koridor yang benar. Kesalahan perspesi ini telah menimbulkan paham-paham fundamentalisme yang akan merusak nilai universalitas agama itu sendiri. Pelurusan ini sebagai langkah untuk mengembalikan posisi paham fundamentalisme agama ke jalan yang benar. Posisi fundamentalisme agama yang mampu mengantarkan kebersamaan dan berdampingan hidup dalam sebuah perbedaan. Dan posisi yang tetap memberi kebebasan untuk menyebarluaskan ajaran agama dengan tetap memperhatikan ukhuwah atau persaudaraan, kerukunan dengan penganut agama lainnya.

Setelah itu proses pendidikan juga diperlukan sebagai bentuk pembinaan ditanamkannya nilai-nilai agama dengan benar untuk tidak kembali kepada paham fundamentalisme sempit. Selain akan mengenalkan nilai dan prinsip agama, proses pendidikan ini juga sebagai langkah untuk membentuk kader-kader manusia yang religius dan memiliki spiritulisme yang tinggi. Pendidikan ini dilakukan untuk melakukan optimalisasi kualitas kemanusiaan manusia sesuai fitrahnya, dan nantinya akan dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.

Dalam proses pelurusan dan pendidikan ini perlu dilibatkannya para pemuka dan tokoh agama sebagai pelaku utama dalam menyebarkan agama secara benar dan meluruskan paham fundamentalisme. Sementara pemerintah bersama masyarakat menegakkan pasal 29 dengan memberikan kebebasan setiap umat beragama untuk memeluk suatu agama sesuai keyakinannya masing-masing dan memberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah.

Dengan demikian diharapkan fundamentalisme agama yang mengarah kepada tindakan anarkhis dan teror dapat diluruskan dan dibenarkan menuju paham fundamentalis agama yang humanistik dengan tetap memperhatikan koridor-koridor prinsip agama. Pemahaman fundamentalis yang dilandasi semangat kemanusiaan universal dan harkat martabat manusia. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan kejelekan dan permusuhan. Hanya manusia saja yang salah mempersepsikannya. Alangkah Indahnya melihat perbedaan sebagai rahmat Tuhan dalam khasanah beragama untuk hidup bersama dan toleransi sehingga dunia ini akan damai terbebas dari konflik-konflik negatif antar umat beragama.

*) Dimuat JawaPos 2006